Monday, 18-09-2023
  • Situs resmi Bumi Damai Al Muhibbin Pondok Pesantren Bahrul 'Ulum Tambakberas Jombang || Informasi Pendaftaran ~~ DIBUKA PADA 01 Februari 2023

Memperingati 10 tahun kenangan

Diterbitkan : - Kategori : Berita

Pelataran sepi. Hanya ada dua mobil terparkir di depan ruang tamu. Yang warna merah itu mobilku, yang satu tidak terlalu jelas warnanya apa dan tidak tahu milik siapa. Lampu-lampu bilik juga sudah dimatikan. Meskipun larut, terlihat masih ada beberapa santri yang ngobrol didepan kamar sambil rebahan. Semilir angin membuatku ingin terpejam sejenak. Mengingat-ingat seseorang yang begitu baik kepadaku. Tapi aku lupa namanya.

            Dulu, sekitar 10 tahunan lalu, aku mondok di pesantren ini. Waktu itu aku baru mau kelas sepuluh. (Dan jangan bertanya kenapa aku baru mondok diusia 16 tahun). Bapak yang mengantarku. Hari rabu. Ya, aku ingat betul. Kata Bapak, hari rabu itu hari baik untuk memulai belajar. Maka, pagi hari sekali, motor tua Bapak membawa kami menuju kota J.

            Setelah mendapatkan kunci almari, kami diantar Ustadz (yang aku lupa namanya) menuju kamar. Dan itulah hari pertama aku bertemu dengan seorang yang baik itu. Dia masih muda, mungkin hanya tiga tahun lebih tua dariku. Tapi perawakannya meyakinkan sekali untuk dipanggil ustadz.

“Ini Ustadz Burhan, pembimbing kamar 13. Ustadz Burhan inilah yang nantinya akan bertanggung jawab dan mengayomi anak bapak, juga teman satu kamarnya”. Ungkap Ustadz (yang aku lupa namanya) kepada Bapak.

“Oke. Terimakasih, Mas!” “Eh, Ustadz. Hehehe”.

Dia menyalami Bapak, lalu pergi. Pandanganku mengikuti langkahnya. Wajahnya memang terlihat muda untuk lelaki seumurannya.

“Mari, Pak. Saya antar masuk supaya barang-barang milik… emm… siapa namanya?”

Bapak menyikutku. Aku tegagap. “Eh, anu. Namaku Arifin”. Kemudian kembali kucari kemana perginya ustadz yang mengantarku tadi. Aku juga belum sempat tahu namanya.

“Ayo, Rif. Dibawa masuk barang-barangnya”. Kata ustadz Burhan sambil meraih tasku.

“Eh, biar saya saja Ustadz”.

##

            Ku putuskan untuk menuju mobil, ngantuk berat. Serambi masjid terlihat penuh, sama seperti dulu. Ditempati santri untuk tidur. Kuturuni 5 buah anak tangga yang juga ditempati mereka tidur. Sepasang sandal swallow yang baru kubeli tadi sore di kios pondok terlihat menunggu kuajak pergi. Tidak betah dengan suara dengkur yang bersahutan sana-sini.

            Di dalam mobil yang kacanya ku buka sedikit, aku malah bingung. Rasanya aku ingin ingat lagi siapa nama orang baik yang tak pernah lelah menegurku ketika dulu aku salah. Aku senang berteman dengannya karena sikap apa adanya. Tidak pernah menuntut. Tidak egois. Siapa ya? Begitu merasa bersalah, ketika seseorang yang dengan tulus berteman denganku malah kulupakan namanya. Siapa ya?

##

            Selepas kegiatan malam, santri diperbolehkan keluar pesantren. Mulai jam setengah sepuluh sampai jam sepuluh malam. Ada yang ngopi, makan, atau sekedar beli pentol. Kalau aku tidak. Sejak masuk pesantren 4 bulanan lalu, mungkin hanya 3 kali aku keluar malam. Aku lebih memilih nyantai sambil membaca novel laskar pelangi yang kubawa dari rumah. Aku suka buku itu. Bahkan, sampai detik ini pun, sudah terhitung 17 kali aku menghatamkannya.

            “Mau kemana, War?”. Tanyaku pada War alias Toni yang terlihat gopoh hendak keluar kamar. Dia dipanggil ‘War’ karena saking seringnya berantem.

            “Itulo, Pin, pengen gabung temen-temen didepan kamar”. Jawabnya lalu berpaling pergi.

Aku melongok keluar kamar melalui jendela yang berada tepat disebelahku. Dan benar, di teras depan kamar banyak anak. Mengerubungi entah siapa. Sesekali mereka tertawa, kadang juga terkesan serius. Sebenarnya aku penasaran. Tapi urung, karena aku tidak terlalu suka ramai-ramai begitu. Aku lebih memilih buku yang menyimpan banyak pesan kehidupan dari pulau Belitung ini.

            Malam-malam berikutya juga seperti itu. Selepas jam keluar, sambil menunggu jam istirahat, teman-temanku banyak yang ikut gabung didepan kamar. Seperti rutinan saja. Kebetulan malam itu Ustadz Burhan ada dikamar. Membaca sebuah kitab tebal yang aku tidak tahu apa judulnya. Aku mendekatinya, “Ustadz, kumpul-kumpul seperti itu biasanya ngapain ya?”

“Itu namanya trik pdkt, Rif. Sejak dulu, pada malam-lama tertentu, beberapa ustadz akan mengunjungi depan kamar santri, kumpul-kumpul. Biasanya bercerita tentang karomah para wali, akhlak santri jaman dulu, bahkan soal hantu”. Terang Ustadz Burhan sambil tetap membuka lembar-lembar berwarna kuning itu. Tidak melihatku.

            Sebenarnya aku ingin bertanya banyak soal ini, tapi sungkan. Takutnya malah mengganggu. Akhirnya kuputuskan untuk undur diri, kembali kubaca novel karya Andrea Hirata untuk menyelesaikan bacaanku yang ke 18.

            “Pin, Aripin! Dipanggil Ustadz (Lagi-lagi aku masih lupa siapa namanya. Haduh!)”. Seru Toni sambil melongokkan kepalanya lewat jendela. Kulipat halaman terakhir yang kubaca, lalu mendekati kerumunan teman-temanku. Itu Ustadz yang dulu mengantarku ke kamar.

            “Yasudah, kalian boleh kembali kekamar masing-masing. Siap-siap istirahat. Jangan lupa berdoa loh ya. Biar setannya tidak ngganggu kalian. Haha”.

Teman-temanku berteriak-teriak sambil berhamburan pergi. Barangkali, Ustadz ini habis cerita hantu.

“Sini, Fin. Duduk sini”. Ungkapnya sambil menarik tanganku; disuruhnya mendekat.

“Ada apa Ustadz?”

“Jangan panggil aku Ustadz, Fin”. Sahutnya.

“Lalu apa, Ustadz?” “Eh!, apa ya”. Tentu saja aku bingung mau manggil apa lagi kalau bukan dengan sebutan itu.

“Ya terserah kamu”

“Baiklah, Mas. Hehehe”. Ucapku ragi-ragu

“Hahaha”. Dia tertawa sejenak, lalu berkata, “Oke, boleh”

“Hehe”

“Gimana, Fin. Sudah betah mondoknya?”

“Alhamdulillah, Mas”. Dan sebetulnya, agak aneh ketika aku memanggilnya ‘Mas’. Soalnya hampir seluruh santri disini memanggilnya ustadz. Kamipun berbincang banyak, mula-mula soal keluarga. Dan seterusnya, dan seterusnya. (Terlalu lama kalau ditulis semua).

“Oh iya, Fin. Kalau kamu butuh apa-apa, atau pengen nelpon orang tua, lewat aku saja”.

“Siap, Mas”.

            “Ya wes, aku tak mbalik disek. Wis dalu. Sampean yo wis wayahe istitahat”

            Akhirnya Ustadz (yang aku lupa namanya) pergi. Ku pandangi langkahnya. Rasa-rasanya sangat akrab. Padahal baru pertama ini aku ngobrol dengannya. “Haduh. Apa jangan-jangan, dia yang selama ini…”. Biarlah.

            “Rif. Ustadz (yang aku lupa namanya) itu saudaramu ta?”. Suara Ustadz Burhan membuyarkan lamunanku.

            “Bukan, Ustadz. Itukan yang dulu mengantarkan aku dan Bapak ke kamar ini”. Jawabku

            “Iya, aku ngerti. Tapi, kalau bukan saudaramu? Kenapa sering tanya kabarmu ya, Fin?”

            “Waduh”

            “Malahan mengurus keperluan administrasimu juga”

Aku sedikit bingung. Administrasi apa? dan aku tak mau tahu soal itu. Yang jelas, kenapa Ustadz (yang aku lupa namanya) itu bersikap sangat baik kepadaku. Begitu juga malam-malam berikutnya. Aku selalu dipanggil untuk berbincang dengannya. Ia bercerita banyak. Menginspirasi. Sering kali dia berpesan biar aku terus semangat.

            Sejujurnya, aku tidak enak hati. Takut merepotkan. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak pernah meminta. Segala kebaikan itu, katanya suatu ketika, adalah bentuk terimakasih kepadaku. Terimakasih untuk apa?. Ah,  biarlah!

            Beberapa bulan kemudian, Ustadz (yang aku lupa namanya) itu tidak pernah membesuk lagi. Satu hari, satu minggu, satu bulan. Tidak pernah lagi aku dipanggilnya untuk lempar cerita. Terasa ada yang kurang. Kenapa tidak pamit? Baru kurasa juga arti hadirnya seseorang setelah dia hanya tinggal bayangan. Dan aku belum siap untuk menjadikannya kenangan!.

Belakangan aku baru tahu kalau dia yang mendaftarkanku lomba menulis bulan lalu. Saat aku sakit, bahkan sampai 2 minggu harus dirawat di rumah sakit, dia juga yang menguruskan seluruh perizinanku. Itu semua Ustadz Burhan yang cerita. “Kenapa baru bilang sekarang, Ustaaaazd?”. Sebetulnya aku ingin protes soal ini, tapi tak berani. Tidak sopan.

            ##


            Bebarapa lampu bilik sudah dinyalakan. Jam tiga dini hari. Dan aku benar-benar tidak bisa tidur. Kalau saja waktu membawaku kembali ke masa itu, pasti akan kutulis setiap kata-katanya, suasana, dan semuanya. Akan ku jadikan namanya sebagai tokoh utama dalam cerita-cerita yang kuikut-sertakan lomba dulu.

            Kalau saja,

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan

Post Terkait

Sarasehan back in the culture

Wednesday, 23 Aug 2023

Hut-RI 78

Wednesday, 23 Aug 2023

HANAFI JUARA UMUM

Monday, 14 Aug 2023

Ngaji Alumni 2010

Monday, 23 Jan 2023